Awal JRX Mengenal band "Social Distortion".
Jakarta - Badan kekar tato tersebar wajah manis tapi gahar membuat I Gede Ary Astina de-ngan mudah menarik dari sisi visual bagi banyak orang -- khususnya perempuan. Tapi pria yang lebih populer dengan nama Jerinx ini paling tak suka jika dipuji atau disukai seseorang hanya karena tampilan fisiknya. Pujian yang dangkal akan membuatnya risih. Meski begitu
, proses jatuh cintanya pada salah satu band yang sangat berpengaruh pada hidupnya -- Social Distortion -- juga berawal dari sebuah k
etertarikan visual.
Suatu hari pada medio ’96, di sebuah lampu merah di dekat pom bensin di Kuta, Denpasar, Bali, dia melihat satu logo band yang menarik di antara banyak stiker logo band yang menempel di helm seorang peselancar yang diduga warga negara Amerika Serikat. Gambar tengkorak sedang memegang martini dan pistol itu terus melekat di kepalanya hingga suatu hari dia bertanya kepada teman-temannya yang lebih tua yang bekerja di pelayaran soal band bernama Social Distortion itu. Dari mata pindah ke telinga, begitu kaset Social Distortion diterimanya itu diputar (tepatnya album Somewhere Between Heaven and Hell), Jerinx langsung jatuh cinta. Musik punk dengan pengaruh musik country adalah sesuatu yang berbeda dari banyak band punk yang didengarnya saat itu. Kesan yang timbul di benak Jerinx saat mendengar musik Social Distortion: genit sekaligus macho sekaligus sensitif. “Baca liriknya langsung benar-benar kena dengan apa yang saya rasakan,” kata Jerinx tahun 2006 pada Alfred Ginting di majalah Playboy Indonesia. “Lirik-lirik rockabilly itu banyak tentang patah hati, mabuk atau mobil, tentang politik sedikit. Saya merasakan citra seorang berandalan yang sok ganteng. Ada selera humornya.”
Perkenalannya pada Social Distortion berujung pada terbentuknya Culture on Fire (inspirasi nama itu dari proses menikmati narkotika jenis shabu), sebuah band yang membawakan lagu-lagu Social Distortion. Di Culture on Fire, Jerinx bernyanyi dan bermain gitar karena lagu-lagu Social Distortion mudah dimainkan. Gaya bernyanyinya lantas mengadopsi gaya Mike Ness sang vokalis Social Distortion.
Dalam perjalanannya, Culture on Fire mengalami banyak bongkar pasang personel hingga pada 2003 ketika ternyata Jerinx sudah menulis banyak lagu untuk band itu, mereka memutuskan untuk mengeluarkan album. Setelah memiliki susunan personel tetap yang dianggap pas, mereka memutuskan untuk mengganti namanya menjadi Devildice -- nama Culture on Fire dianggap tak membawa hoki. Album pertama Devildice pun rilis dengan judul In the Arms of the Angels. Hanya diedarkan di kalangan terbatas dalam jumlah terbatas. Satu-satunya jurnalis yang mengulas album itu adalah Arian Arifin alias Arian13 yang saat itu masih bekerja di majalah MTV Trax. Jerinx menyebut kata-kata ‘terasingkan’, ‘outcast’, ‘kematian’, ‘gelap’, untuk menggambarkan isi album perdana Devildice.
Itu sebabnya lagu-lagu buatan Jerinx yang beratmosfer seperti tadi tak akan masuk ke album Superman Is Dead (SID) karena tak cocok (kalaupun ada yang masuk, musiknya tetap riang). Ada semacam ikatan emosional dengan lagu itu -- karena secara tak langsung semua lagu Devildice adalah pengalaman pribadi Jerinx. Soal bernyanyi, kali pertama dia bernyanyi di SID adalah di lagu “Lady Rose” di album Black Market Love (2006). Tapi bukan berarti lagu-lagu Devildice adalah buangan dari SID. Jerinx juga memikirkan faktor rasa nyaman gitaris/vokalis Bobby Kool dan pemain bas Eka Rock ketika menawarkan satu lagu untuk SID.
“Kasihan Bobby kalau menyanyikannya. It’s very depressive, dia nggak mengalami itu. Biar saya saja yang mengalami, tapi kalau saya nyanyi di SID dengan tema-tema seperti itu, nggak cocok,” kata Jerinx ketika berkunjung ke Rolling Stone pada Senin malam, 4 Juli. Devildice baru saja merilis album kedua mereka yang berjudul Army of The Black Rose.
Selain Jerinx, susunan personelnya adalah: Kuzz (bas), TR (drum), Cash (gitar/vokal latar), dan Mr.F (trumpet dan gitar akustik).
Apa yang membuat Anda percaya diri bernyanyi?
Feedback orang lah. “Wah, suara elo bagus juga.”
Dan gaya bernyanyi Anda mengikuti Mike Ness ya?
Awalnya ya, kan mau bikin mirip sama Mike Ness. Saya juga coba nyanyi dengan nada lain, coba terdengar seperti saya sendiri, tapi jadinya begitu juga. [tertawa]
Kenikmatan seperti apa yang Anda dapat dari Devildice?
Saya tipe orang yang senang merasa sebagai underdog.
Di Devildice ada perasaan itu, kalau konser nggak jadi bintang utama, lalu masih bawa gitar sendiri karena nggak ada kru. Kalau di SID kan belakangan sudah gampang, sudah ada orang yang melakukannya untuk kami. Sekarang sih sudah mulai bisa menggaji kru, tapi karena jumlah krunya masih sedikit. Itu yang membuat Anda merasa tetap rendah hati?
Secara nggak sadar mungkin ada [perasaan itu]. Kaki tetap di bumi, walaupun yang ini sudah naik, tapi saya masih belong to the underground scene, karena saya lahir di sana. Dengan adanya Devildice, saya jadi masih bisa dekat dengan scene itu. Walaupun di SID juga kadang-kadang masih dapat suasana begitu, kalau lagi main di Twice Bar lah. [tertawa]
Momen apa yang membuat Anda merasa kalian sudah bukan underdog?
Ketika drum kami dipasang di tengah-tengah panggung pada saat PRJ. Zaman dulu kan ditaruh di pinggir. Jauh. Lalu, di PRJ kemarin tiba-tiba dipasang di tengah dan di atas. Wah, itu pembuktian.
Di SID, semua pembuktian sudah tercapai?
Nggak tahu sih, orang bilang kan jangan cepat puas. Tercapai? Mungkin beberapa sudah, tapi saya juga tidak tahu apa yang sudah dicapai. [tertawa]